Kamis, 12 Agustus 2010

Maradono dann arti bersyukur

Bloger, saya ingin mengajak Anda masuk ke dalam sebuah cerita yang punya pesan moral sangat baik. Mungkin saja ada dari Anda yang sudah pernah membaca kisah ini, namun alangkah baiknya bila kita kembali diingatkan akan makna sesungguhnya bersyukur.



 Di sebuah toko yang menjual daing, si penjual melihat seekor anjing memasuki tokonya. Tentu saja sangat normal bila ia mengusir binatang tersebut.

Tapi anjing itu kembali lagi ke tokonya. Si penjual melihat ada yang aneh, ia menghampiri anjing itu dan melihat ada catatan di mulut hewan tersebut. Isinya begini, “Tolong sediakan 12 sosis, uangnya ada di mulut anjing ini."

Eh benar saja, si penjual melihat ada uang 50 ribu rupiah. Diambilnya uang itu, dimasukkannya sosis ke kantung plastik seharga uang yang ada. Kantung berisi sosis diletakkan di mulut si anjing. Bila sebelumnya ia marah atas kehadiran si hewan, kini si penjual malah terkesan.

Kebetulan hari sudah sore dan toko harus ditutup. Sang penjual menutup tokonya dan buru-buru mengikuti si anjing yang berjalan menuju tempat penyeberangan. Setelah meletakkan plastik berisi sosis, anjing tersebut melompat dan menekan tombol penyeberangan, kemudian menunggu lampu hijau lalu menyeberang.

Singkat cerita, setelah si anjing tiba di halte dan memilih bus yang ia inginkan, penjual dan hewan berkaki empat itu tiba di sebuah kompleks perumahan.

Sang anjing kembali menunjukkan kepintarannya. Ia meletakkan plastik dan membenturkan kepalanya ke pintu sebuah rumah. Dari kejauhan, penjual daging tak tak henti-hentinya berdecak kagum. "Pasti ia sedang mengetuk pintu. Ah, seandainya saya punya piaraan seperti itu," ucapnya dalam hati.

Tapi sontak ia kaget setengah mati. Dari dalam rumah keluar seorang pria yang langsung memukuli dan menendang anjing tersebut sambil mengeluarkan sumpah-serapah.

Tentu saja si penjual berlari untuk menghentikan aksi si pemilik rumah. "Apa yang Anda lakukan? Anjing ini sangat jenius," katanya bernada marah.

Apa jawaban pria yang memukuli anjing itu? “Anda bilang anjing ini pintar? Dalam minggu ini sudah dua kali ia lupa membawa kunci sehingga saya harus membukakan pintu untuknya!”

Kepuasan. Tingkat ukuran kepuasan setiap orang memang berbeda. Bagi si penjual daging, anjing tersebut sangat mengagumkan. Ia sungguh menghargai kepintaran hewan tersebut. Tapi sang tuan rumah hanya berfokus pada kesalahan anjingnya.

Tentu saya tidak ingin membawa perbandingan anjing pintar ini dengan sosok sehebat Diego Maradona. Manusia jenius dari Argentina ini hanya ada satu dalam seratus tahun. Begitu pujian seorang rekan di sekolah dulu.

Apakah federasi sepak bola Argentina tidak bersyukur memiliki seorang pelatih yang kehebatannya semasa bermain bahkan membuat burung pun berhenti bernyanyi ketika bola ada dalam penguasaannya?

Tidak, saya tidak melihat dari sisi itu. Usai dipecat AFA, Maradona mendapat pembelaan dari penguasa negeri tersebut. Jelas bukan pada tempatnya bila presiden Argentina berusaha mempertahankan Maradona di posisinya sebagai pelatih Albiceleste.

Argentina pasti bersyukur Maradona lahir dan menjadi warga negara tersebut. Ia mengangkat Albiceleste dalam persaingan sejajar dengan Selecao.

Senapan Mesin

Tapi saat ini, menurut saya Maradona-lah yang harus pandai-pandai bersyukur. Tidak semua pelatih yang minim pengalaman bertugas di klub bisa sukses menukangi tim nasional. Apalagi sampai ke Piala Dunia.

Dukungan luar biasa sudah ia dapatkan walau Argentina gagal bersinar di Afrika Selatan 2010. Federasi sepak bola Argentina pun sudah meleparkan tawaran ingin mempertahankannya. AFA paham dampak karisma idola masyarakat Argentina itu.

Namun, Asociacion del Futbol Argentino ingin membantu Maradona dengan mengubah amunisinya saat bekerja. El Diego butuh orang-orang baru di sekelilingnya setelah kegagalan di Afsel.

Tapi Maradona seperti sebuah senapan mesin yang menyala namun lepas kontrol. Entah kenapa, ia seolah ingin menyerang semua manusia di muka bumi ini yang tak sepaham dengannya. Tak ada rekan kerjanya yang boleh diutak-atik. Heran sungguh heran, bukankah AFA yang memperkerjakannya?

Kenapa Maradona tidak bersyukur ia bisa mendapat kepercayaan besar setelah reputasi buruk yang menimpa di luar lapangan?

Dengan cepat, kita bisa mengingat dosa-dosa seorang ikon sepak bola dunia bernama lengkap Diego Armando Maradona itu. Saya menyebut obat-obatan terlarang, perselingkuhan, pajak, menembak wartawan, serta tidak membawa Javier Zanetti dan Esteban Cambiasso ke Piala Dunia 2010.

Ah, tentu saja "dosa" terakhir itu versi saya. Anda pun boleh menyebut dosa-dosa Maradona sesuai analisis priadi.

Sejak bertugas menukangi Albiceleste pada November 2008, berulang kali Maradona diberitakan berupaya menjauhkan Carlos Bilardo (71) dari semua keputusan yang menyangkut timnas. Padahal, Bilardo ditempatkan AFA sebagai direktur teknik untuk membimbing Maradona yang masih hijau di dunia kepelatihan.

Trofi Piala Dunia 1986 yang diangkat Maradona tak lepas dari peran Bilardo sebagai pelatih Argentina ketika itu. Semua sepakat, Bilardo punya peran membuka pintu dan jendela rumah Argentina agar sinar Maradona bisa dilihat dunia.

Tapi Maradona hanya fokus pada dirinya. Ia ingin semua orang mengerti dan mengiyakan pemikirannya. Bakat luar biasa yang ia miliki tertutup oleh ego besar. Seandainya Maradona paham arti bersyukur dan menerima karunia itu dikembangkan orang lain, ia masih seorang pemenang. #

Senin, 02 Agustus 2010

Bintang butuh proses

Seorang ahli ekonomi olah raga asal Inggris, Stefan Szymanski, dalam buku Soccernomics pernah membuat perhitungan jumlah investasi untuk mencetak atlet berprestasi di sepak bola. Diperlukan 10 ribu jam berlatih dan dana US$ 15 ribu per orang.Artinya, jika seorang pesepak bola berlatih selama 2 jam per hari, ia setidaknya memerlukan 5 ribu hari untuk berprestasi internasional. Jadi, perlu 13 tahun untuk memanen!
Thomas Muller, pemain muda terbaik di Piala Dunia 2010 asal Jerman, meraihnya di usia 20 tahun. Saat menjuarai Eropa di kategori U-21 bersama Jerman, usianya 19 tahun. Dari data profil, Muller pertama kali bergabung dengan tim TSV Pahl tahun 1993, saat usianya baru 4 tahun (ia dilahirkan 13 September 1989).Berpatokan dari itu, masih banyakkah keluarga di Indonesia yang memikirkan membawa anaknya ke lapangan olah raga sejak usia dini agar suatu saat bisa mengharumkan bangsa lewat olah raga?Dalam buku SportParent yang dikeluarkan American Sport Education Program, masa depan olah raga bangsa ditentukan banyaknya keluarga yang mengenalkan olah raga sejak usia dini. "Bantulah keluarga-keluarga yang mau mendorong anaknya berolah raga dan berprestasi," tulis buku itu.
Usia 0-5 tahun adalah kesempatan emas mengisi otak anak dengan hal-hal positif, termasuk olah raga. Karena sering ke lapangan bola basket menonton abangnya berlatih dan bertanding, anak perempuan saya yang baru 16 bulan punya insting tinggi dalam olah raga.Ia bisa melakukan gerakan passing dan refleks release menembak bola basket hanya dari melihat! Setiap melihat tayangan NBA di ESPN dan Vision 1 Sports, ia selalu melirik bola basket (pemahaman asosiatif) yang sengaja diletakkan di ruang tamu.Saat belajar berjalan--yang gerakannya lebih mirip orang berlari itu--si bungsu melakukan keseimbangan alamiah lewat kedua tangannya sehingga terhindar dari jatuh karena memiliki psikomotorik bagus.Pertanyaannya, berapa banyak keluarga Indonesia yang memahami psikomotorik anak? Pemahaman biomekanik, yang turunan psikomotorik, sangat diperlukan agar si anak melakukan gerakan dengan benar dalam bermain sembari berolah raga memenuhi takdir sebagai homo ludens, manusia yang bermain.
Menjaga Mental
Selain aspek kognitif dan psikomotorik, satu lagi yang perlu diperhatikan sejak dini adalah afektif (sikap mental/perilaku). Faktor ketiga itu sulit sekali dipenuhi jika keluarga Indonesia tak memiliki komunikasi verbal bagus dalam keseharian. Kemampuan afektif berimbas pada kedisiplinan seseorang, caring (kepedulian), dan nilai-nilai sopan santun.Jika sudah melakukan pengawasan sangat baik pada ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif calon atlet, menurut Szymanski diperlukan dana setidaknya US$ 15 ribu (Rp 138 juta) untuk memodali berprestasi. Uang itu digunakan membeli makanan bergizi sejak kecil, menjaga kesehatan, membeli peralatan, membayar pelatih, dan lain-lain.Sampel yang diambil Szymanski adalah Eropa, yang mengabaikan parameter pendidikan karena sudah memiliki standar tinggi untuk pendidikan. Untuk Indonesia, justru pendidikan menjadi kendala.
Paradigma 'mengejar nilai' membuat anak Indonesia cenderung 'ditekan' sejak sekolah dasar untuk mengejar nilai dan ranking setinggi-tingginya. Itu makin diperparah oleh pelajaran Pendidikan Jasmani, yang hanya 2 jam seminggu.Minimnya bibit atlet nan cerdas dan terpelajar itulah yang membuat prestasi internasional Indonesia terus menurun. Atlet juga dianggap kurang disiplin, kurang nasionalis, sehingga perlu dimasukkan dalam kelas 'Character Building'.Nasionalisme dan disiplin adalah produk kontinuitas pendidikan. Menanamkan rasa nasionalis dan disiplin adalah sebuah proses, tak bisa instan. Proses panjang itu sama persis dengan menciptakan bibit atlet dalam keluarga Indonesia.