Senin, 02 Agustus 2010

Bintang butuh proses

Seorang ahli ekonomi olah raga asal Inggris, Stefan Szymanski, dalam buku Soccernomics pernah membuat perhitungan jumlah investasi untuk mencetak atlet berprestasi di sepak bola. Diperlukan 10 ribu jam berlatih dan dana US$ 15 ribu per orang.Artinya, jika seorang pesepak bola berlatih selama 2 jam per hari, ia setidaknya memerlukan 5 ribu hari untuk berprestasi internasional. Jadi, perlu 13 tahun untuk memanen!
Thomas Muller, pemain muda terbaik di Piala Dunia 2010 asal Jerman, meraihnya di usia 20 tahun. Saat menjuarai Eropa di kategori U-21 bersama Jerman, usianya 19 tahun. Dari data profil, Muller pertama kali bergabung dengan tim TSV Pahl tahun 1993, saat usianya baru 4 tahun (ia dilahirkan 13 September 1989).Berpatokan dari itu, masih banyakkah keluarga di Indonesia yang memikirkan membawa anaknya ke lapangan olah raga sejak usia dini agar suatu saat bisa mengharumkan bangsa lewat olah raga?Dalam buku SportParent yang dikeluarkan American Sport Education Program, masa depan olah raga bangsa ditentukan banyaknya keluarga yang mengenalkan olah raga sejak usia dini. "Bantulah keluarga-keluarga yang mau mendorong anaknya berolah raga dan berprestasi," tulis buku itu.
Usia 0-5 tahun adalah kesempatan emas mengisi otak anak dengan hal-hal positif, termasuk olah raga. Karena sering ke lapangan bola basket menonton abangnya berlatih dan bertanding, anak perempuan saya yang baru 16 bulan punya insting tinggi dalam olah raga.Ia bisa melakukan gerakan passing dan refleks release menembak bola basket hanya dari melihat! Setiap melihat tayangan NBA di ESPN dan Vision 1 Sports, ia selalu melirik bola basket (pemahaman asosiatif) yang sengaja diletakkan di ruang tamu.Saat belajar berjalan--yang gerakannya lebih mirip orang berlari itu--si bungsu melakukan keseimbangan alamiah lewat kedua tangannya sehingga terhindar dari jatuh karena memiliki psikomotorik bagus.Pertanyaannya, berapa banyak keluarga Indonesia yang memahami psikomotorik anak? Pemahaman biomekanik, yang turunan psikomotorik, sangat diperlukan agar si anak melakukan gerakan dengan benar dalam bermain sembari berolah raga memenuhi takdir sebagai homo ludens, manusia yang bermain.
Menjaga Mental
Selain aspek kognitif dan psikomotorik, satu lagi yang perlu diperhatikan sejak dini adalah afektif (sikap mental/perilaku). Faktor ketiga itu sulit sekali dipenuhi jika keluarga Indonesia tak memiliki komunikasi verbal bagus dalam keseharian. Kemampuan afektif berimbas pada kedisiplinan seseorang, caring (kepedulian), dan nilai-nilai sopan santun.Jika sudah melakukan pengawasan sangat baik pada ranah kognitif, psikomotorik, dan afektif calon atlet, menurut Szymanski diperlukan dana setidaknya US$ 15 ribu (Rp 138 juta) untuk memodali berprestasi. Uang itu digunakan membeli makanan bergizi sejak kecil, menjaga kesehatan, membeli peralatan, membayar pelatih, dan lain-lain.Sampel yang diambil Szymanski adalah Eropa, yang mengabaikan parameter pendidikan karena sudah memiliki standar tinggi untuk pendidikan. Untuk Indonesia, justru pendidikan menjadi kendala.
Paradigma 'mengejar nilai' membuat anak Indonesia cenderung 'ditekan' sejak sekolah dasar untuk mengejar nilai dan ranking setinggi-tingginya. Itu makin diperparah oleh pelajaran Pendidikan Jasmani, yang hanya 2 jam seminggu.Minimnya bibit atlet nan cerdas dan terpelajar itulah yang membuat prestasi internasional Indonesia terus menurun. Atlet juga dianggap kurang disiplin, kurang nasionalis, sehingga perlu dimasukkan dalam kelas 'Character Building'.Nasionalisme dan disiplin adalah produk kontinuitas pendidikan. Menanamkan rasa nasionalis dan disiplin adalah sebuah proses, tak bisa instan. Proses panjang itu sama persis dengan menciptakan bibit atlet dalam keluarga Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar